MAKALAH
PENGANTAR
ILMU PENDIDIKAN
“PENDIDIKAN
MULTIKULTURAL”
Makalah
ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Pendidikan
Dosen
pengampu: Drs.Sarjono
Disusun
oleh: Sunarjo
NIM:
12410136
PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
SEMESTER PERTAMA
TA.
2012/2013
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Indonesia
adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Kenyataan
ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang
begitu beragam dan luas.
Pada
prinsipnya, pendidikan multikultural adalah pendidikan yang
mengharagai perbedaan. Sehingga nantinya perbedaan tersebut tidak
menjadi sumber konflik dan perpecahan. Sikap saling toleransi inilah
yang nantinya akan menjadikan keberagaman yang dinamis, kekayaan
budaya yang menjadi jati diri bangsa yang patut untuk dilestarikan.
Dalam
pendidikan multikultural, setiap peradapan dan kebudayaan yang ada
berada dalam posisi yang sejajar dan sama, tidak ada kebudayaan yang
lebih tinggi atau dianggap lebih tinggi (superior) dari kebudayaan
yang lain, dialog meniscayakan adanya persamaan dan kesamaan diantara
pihak-pihak yang terlibat, anggapan bahwa kebudayaan tertentu lebih
tinggi dari kebudayaan yang lain akan melahirkan fasisme,
nativisme dan chauvinism, dengan dialog, diharapkan terjadi sumbang
pemikiran yang pada gilirannya akan memperkaya kebudayaan atau
peradaban yang bersangkutan sehingga nantinya terwujud masyarakat
yang makmur, adil, sejahtera yang saling menghargai perbedaan.
- Rumusan Masalah
- Mengetahui sejarah pendidikan multikultural
- Apa itu pendidikan multikultural?
- Apakah tujuan penerapan pendidikan multikultural di Indonesia?
- Bagaimana perspektif/pandangan islam terhadap pendidikan multikultural?
C.
Tujuan
Mengetahui
dan memahami hakikat pendidkan multicultural (sejarah, pengertian,
tujuan, pandangan islam) serta dapat mengaplikasikannya dalam
kehidupan sehari-hari.
BAB
II
PEMBAHASAN
- Sejarah Pendidikan Multikultural
Dalam
sejarahnya, pendidikan multikultural sebagai sebuah konsep atau
pemikiran tidak muncul dalam ruangan kosong, namun ada interes
politik, sosial, ekonomi dan intelektual yang mendorong
kemunculannya. Wacana pendidikan multikultural pada awalnya sangat
bias Amerika karena punya akar sejarah dengan gerakan hak asasi
manusia (HAM) dari berbagai kelompok yang tertindas di negeri
tersebut. Banyak lacakan sejarah atau asal-usul pendidikan
multikultural yang merujuk pada gerakan sosial Orang Amerika
keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna lain yang mengalami
praktik diskriminasi di lembaga-lembaga publik pada masa perjuangan
hak asasi pada tahun 1960-an.
Di
antara lembaga yang secara khusus disorot karena bermusuhan dengan
ide persamaan ras pada saat itu adalah lembaga pendidikan. Pada akhir
1960-an dan awal 1970-an, suara-suara yang menuntut lembaga-lembaga
pendidikan agar konsisten dalam menerima dan menghargai perbedaan
semakin kencang, yang dikumandangkan oleh para aktivis, para tokoh
dan orang tua. Mereka menuntut adanya persamaan kesempatan di bidang
pekerjaan dan pendidikan. Momentum inilah yang dianggap sebagai awal
mula dari konseptualisasi pendidikan multikultural.
Secara
generik, pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang dibuat
dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi
semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok
budaya. Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan
multikultural adalah untuk membantu semua siswa agar memperoleh
pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan
peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik
serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan
warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat
bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.
Beberapa
aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan multikultural
dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat
toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan
jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan
budaya, di antaranya mencakup pakaian, musik dan makanan kesukaan.
Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan
hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar
merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.
Refleksi
Tentang Pendidikan Multikultural
Pendidikan
merupakan hal yang sangat penting bagi keberlangsungan hidup manusia,
karena dengan pendidikan manusia membentuk kepribadian yang
berkualitas. Pendidikan tidak hanya bisa dilakukan didalam lembaga
pendidikan (sekolah) namun pendidikan juga bisa dilakukan diluar
sekolah dan tanpa batas waktu atau berlangsung seumur hidup.
Berbagai
masalah yang timbul di negara kita, Indonesia, banyak dikarenakan
adanya ketidakberagaman budaya yang memang pada dasarnya Indonesia
adalah negara yang tediri dari berbagai latar belakang sosial budaya
meliputi ras, suku, agama, status sosial, mata pencaharian dan
lain-lain. Berbagai masalah yang timbul itulah yang akhirnya menjadi
konflik berkepanjangan dan tidak bisa menemui titik terang atau jalan
keluar untuk masalah yang menyangkut sosial budaya.1
- Pengertian Pendidikan Multikultural
Multikultural
berasal dari dua kata yaitu Multi dan Kultul, multi artinya banyak
dan kultul artinya budaya.
Menurut para ahli
- Gibson(1984) mendefinisikan bahwa pendidikan multikultural adalah suatu proses pendidikan yang membantu individu mengembangkan cara menerima, mengevaluasi, dan masuk ke dalam sistem budaya yang berbeda dari yang mereka miliki.
- Nieto (1992) menyebutkan bahwa pendidikan multibudaya adalah pendidikan yang bersifat anti rasis, yang memperhatikan ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan dasar bagi warga dunia, yang penting bagi semua murid, yang menembus seluruh aspek sistem pendidikan, mengembangkan sikap, pengetahuan dan ketrampilan yang memungkinkan murid bekerja bagi keadilan social, yang merupakan proses dimana pengajar dan murid bersama-sama mempelajari pentingnya variabel budaya bagi keberhasilan akademik dan menerapkan ilmu pendidikan yang kritis yang memberi perhatian pada bangun pengetahuan sosial dan membantu murid untuk mengembangkan ketrampilan dalam membuat keputusan dan tindakan sosial.
- Prudence Crandall mengemukakan bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh terhadap latar belakang peserta didik baik dari aspek keragaman suku (etnis), ras, agama (aliran kepercayaam) dan budaya (kultur). Secara lebih singkat Andersen dan Custer (1994) mengatakan bahwa pendidikan multikultural adalah pedidikan mengenai keragaman budaya.2
- Menurut James. A. Banks pendidikan multikultural adalah konsep atau ide sebagai rangkaian kepercayaan dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis dalam membentuk gaya hidup pengalaman sosial identitas pribadi dan kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara.3
- Menurut Sosiolog UI Parsudi Suparlan, Pendidikan Multikulturalis adalah pendidikan yang mampu menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultural.
- Azyumardi Azra mendefinisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk atau tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografi dan kultur lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan demi secara keseluruhan. 4
- Sedangkan Musa Asy’ari juga menyatakan bahwa pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural.5
Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan dan
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia dan
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Multikultural adalah berbagai macam status social budaya meliputi
latar belakang, tempat, agama, ras, suku dll.
Jadi
pendidikan multikultural adalah usaha sadar untuk mengembangkan
kepribadian didalam dan diluar sekolah yang mempelajari tentang
berbagai macam status sosial, ras, suku, agama agar tercipta
kepribadian yang cerdas dalam menghadapi masalah-masalah keberagaman
budaya.6
Untuk
membentuk warga negara yang berpendidikan multikultural tidaklah
mudah, banyak tahap dan prosedur yang harus dilaksanakan dalam
membentuk masyarakat yang berpendidikan multikultural Indonesia,
antara lain:
- Menyiapkan materi atau kurikulum pelajaran yang mengagungkan perbedaan budaya.
- Menyiapkan kurikulum yang mempelajari tentang budaya suku lain mulai dari tari tradisional, sastra, hasil kerajinan suku lain di Indonesia dan lain-lain.
- Menyiapkan kurikulum yang tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
- Menyiapkan materi yang berasaskan nilai moral untuk menanamkan sikap menghargai orang, budaya, agama dan keyakinan lain.
- Membangun monumen maupun museum disetiap daerah untuk dijadikan penelitian budaya daerah tersebut dan dapat dijadikan tambahan bahan acuan materi pelajaran
- Membuka lapangan kerja seluas-luasnya untuk memproduksi hasil kerajinan tangan yang menjadi ciri khas budaya daerah.
- Pemerataan pendidikan multikultural untuk sekolah baik dari lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta bahkan untuk sekolah-sekolah internasional yang mempunyai kurikulum sendiri yang mengacu pada kurikulum negara lain.
- Pemerataan pendidikan multikultural bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa meliat status sosialnya.
- Mengembangkan potensi peserta didik untuk mengembangkan ketrampilan dan pengetahuan sosial budaya dengan kemajuan IPTEK.
10)
Mempercepat proses hak paten semua hasil kebudayaan agar tidak
diklain negara lain dan sebagainya.
11) Pendidikan
multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang
merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.
12) Pendidikan
multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran
tunggal terhadap kebenaran sejarah.
13) Kurikulum
dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut
pandang kebudayaan yang berbeda-beda.
14) Pendidikan
multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam
memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.
15) Pendidikan
multikultural mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan
dan perbedaan budaya mendorong individu untuk mempertahankan dan
memperluas wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri.
Hal-hal
seperti diatas tidak lepas dari campur tangan pemerintah RI agar
dapat berjalan lancar dan membawa hasil positif dan dapat membawa
dampak yang baik (kemajuan) bagi bangsa.
- Tujuan Pendidikan Multikultural
Pendidikan
multikultural sangat penting bagi warga Negara Indonesia karena
pada Uraian sebelumnya telah mempertebal keyakinan kita betapa
paradigma pendidikan multikultural sangat bermanfaat untuk membangun
kohesifitas, soliditas dan intimitas di antara keragamannya etnik,
ras, agama, budaya dan kebutuhan di antara kita. Paparan di atas juga
memberi dorongan dan spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk
mau menanamkan sikap kepada peserta didik untuk menghargai orang,
budaya, agama, dan keyakinan lain. 7
Harapannya,
dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan
membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang
berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat
multikultural di sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan
penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama,
ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama
secara damai. Agar proses ini berjalan sesuai harapan, maka
seyogyanya kita mau menerima jika pendidikan multikultural
disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga pendidikan,
serta, jika mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum
pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah
maupun swasta. Apalagi, paradigma multikultural secara implisit juga
menjadi salah satu concern dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem
Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan
diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan
menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan
kemajemukan bangsa.8
Pada
konteks ini dapat dikatakan, tujuan utama dari pendidikan
multikultural adalah untuk menanamkan sikap simpati, respek,
apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang
berbeda. Lebih jauh lagi, penganut agama dan budaya yang berbeda
dapat belajar untuk melawan atau setidaknya tidak setuju dengan
ketidak-toleranan (l’intorelable) seperti inkuisisi (pengadilan
negara atas sah-tidaknya teologi atau ideologi), perang agama,
diskriminasi, dan hegemoni budaya di tengah kultur monolitik dan
uniformitas global.
- Pendidikan Multikultural Dalam Islam
Pendidikan
Multikultural dalam Islam Dalam Islam, pendidikan multikultural
menemukan pijakannya dalam piagam madinah. Piagam ini menjadi rujukan
suku dan agama pada waktu itu dalam menjalankan kehidupan
bermasyarakat. Piagam ini juga menjadi rujukan orang-orang yang ingin
menjelaskan sistem pemerintahan dan ketatanegaraan Islam. Pijakan
multikultural juga bisa dilacak pada akhlak dan kepribadian
Rasulullah S.A.W. Ia seorang manusia multikultural. Ia sangat
menghormati hak asasi manusia dan menjunjung tinggi perbedaan,
seperti diakui oleh beberapa Rohaniawan non muslim, seperti Uskup
Sidon Paul of Antioch , Theodore Abu Qurrah , Kenneth Cragg, dan
beberapa sarjana barat, seperti William Muir , dan Montgomery Watt.
Kenyataan bahwa Piagam Madinah dan pribadi Rasulullah menjadi pijakan
multikultural, secara tidak langsung menjelaskan al-Quran sebagai
muara pijakan tersebut. Hal ini karena dua alasan. Pertama, Piagam
Madinah diajukan oleh Rasullah sebagai acuan hidup bermasyarakat
karena dukungan ayat-ayat Madaniyah. Kedua, ada keterangan yang
menyatakan bahwa akhlak Rasulullah adalah al-Quran. Artinya, kedua
alasan ini menegaskan bahwa pijakan pendidikan multikultural dalam
Islam adalah al-Quran.9
Dalam Al qur’an
surat Al Hujuraat ayat 13 Allah berfirman yang artinya.
“Hai manusia,
sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di
antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Jadi orientasi dari
pendidikan multikultural islam ialah tertanamnya sikap
simpati, respek, apresiasi (menghargai), dan empati terhadap penganut
agama dan budaya yang berbeda untuk meningkatkan kadar taqwa kita di
sisi Allah. Karena Allah tidak melihat darimana ia berasal, seberapa
tampan atau cantik, seberapa kaya, seberapa tinggi pangkat/jabatan,
seberapa kuat badannya, tapi yang dilihat Allah ialah seberapa besar
tingkat taqwanya.
Untuk
mewujudkan pendidikan multikultural islam ditempuhlah berbagai cara,
diantaranya:
Pertama, pendidikan
Islam multikultural (PIM) mengakui budaya lokal dan menghormati
budaya global. Artinya, pendidikan Islam multikultural mengakui
adanya realitas budaya lokal sebagai sesuatu yang bisa mewarnai
pendidikan Islam. Di sisi lain, PIM juga tidak menafikan budaya
global yang juga bisa menambah gairah pendidikan Islam. Ketika kedua
budaya tersebut bersitegang, maka peran PIM ini mencari jalan tengah
untuk “mendamaikan” keduanya.
Kedua, PIM mencoba mensiasati problem-problem pendidikan atau kemanusiaan lain yang sulit untuk diselesaikan. Ini terkait dengan maraknya benturan-benturan ideologi, keyakinan, dan cara pandang dan bagaimana PIM mensiasati benturan-benturan tersebut. Contoh kasus pelaksanaan ujian nasional (UN). Ada ketegangan antara pemerintah, sebagai pembuat kebijakan UN dengan sebagian elemen masyarakat dalam melihat pelaksanaan UN. Pemerintah tetap mengharuskan UN sementara elemen masyarakat tersebut tetap menolak UN. PIM bisa mensiasati ketegangan ini dengan mengajukan rumusan pelaksanaan UN baru, yaitu UN tetap dilaksanakan tapi tidak menjadi salah satu penentu kelulusan.
Kedua, PIM mencoba mensiasati problem-problem pendidikan atau kemanusiaan lain yang sulit untuk diselesaikan. Ini terkait dengan maraknya benturan-benturan ideologi, keyakinan, dan cara pandang dan bagaimana PIM mensiasati benturan-benturan tersebut. Contoh kasus pelaksanaan ujian nasional (UN). Ada ketegangan antara pemerintah, sebagai pembuat kebijakan UN dengan sebagian elemen masyarakat dalam melihat pelaksanaan UN. Pemerintah tetap mengharuskan UN sementara elemen masyarakat tersebut tetap menolak UN. PIM bisa mensiasati ketegangan ini dengan mengajukan rumusan pelaksanaan UN baru, yaitu UN tetap dilaksanakan tapi tidak menjadi salah satu penentu kelulusan.
Ketiga, PIM
menjadikan globalisasi bukan sebagai musuh tapi sebagai penyeimbang
bagi budaya lokal. Ini sejalan dengan konsep PIM sebagai jalan
tengah. Artinya posisi, PIM itu tidak mesti menjadi salah satu
pendukung globalisasi atau budaya lokal, tapi mengambil peran sebagai
fasilitator bagi globalisasi dan budaya lokal. Contohnya ketika
globalisasi, di satu sisi, mendorong penggunaan teknologi dalam semua
ranah kehidupan, dan di sisi lain, keyakinan akan bahaya teknologi
bagi moralitas anak terus dipegang erat oleh masyarakat di
perkampungan misalnya, maka PIM menjadi penyeimbang dengan
mempersilahkan penggunaan teknologi di masyarakat perkampungan dan
mendorong perbaikan metodologi pengajaran al-Quran dan ilmu-ilmu
agama lain di perkampungan agar pemahaman terhadap agama semakin baik
dan kesadaran tentang moralitas menjadi semakin tinggi.
Keempat, PIM
mendorong pluralisme bukan semata-mata sebagai pengakuan terhadap
perbedaan dan kemajukan, namun dalam prakteknya menerima perbedaan
tersebut secara legowo dan melakukan perubahan dalam cara bertindak.
Artinya, pluralisme yang “proyeknya” belum final pada era
modernisme itu, didorong untuk menuntaskan proyek tersebut sehingga
menghasilkan perubahan yang jelas bagi masyarakat. Kalau pluralisme
hanya sebatas gagasan, maka PIM ini melakukan kerja nyata. Contoh
apakah masyarakat Indonesia bisa menerima seorang presiden
non-muslim, namun bisa mensejahterakan rakyat? Tugas PIM untuk
melakukan perubahan terhadap cara pandang masyarakat tersebut,
sehingga ukuran utama seorang presiden tersebut bukan didasarkan pada
latar belakang agama, namun pada tingkat kemampuan memajukan
masyarakat.
Kelima, PIM
“melawan” keinginan pemerintah, tokoh pendidikan, atau siapapun
yang mencoba melakukan penyeragaman dalam pendidikan. Ini bisa
sejalan dengan konsep Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Kedua konsep ini mendorong
keragaman proses pembelajaran di setiap sekolah.Rumusan kelima ini
memerlukan keberanian dan energi yang lebih untuk “melawan”
kebijakan-kebijakan pendidikan yang tidak pro rakyat.
Keenam, PIM membuka
perbedaan seluas-luasnya dan memberikan pemahaman bagaimana
seharusnya menghadapi perbedaan tersebut. Rumusan terakhir
menjelaskan bahwa perbedaan itu sebuah realitas kemanusiaan dan
bagaimana masyarakat bisa memahami realitas tersebut dan mempraktekan
pemahaman tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menuju
pendidikan Islam multikultural diperlukan kesadaran tentang konsep
dan arah multikultural dari semua elemen pendidikan; pemerintah,
masyarakat, pimpinan sekolah, orang tua, guru, dan siswa. Kesadaran
tersebut, menurut Aurobindo (seorang filosof Hindu Mutakhir) harus
berawal dari tingkat kesadaran utama, yang berpuncak pada supermind,
yaitu 1) keesaan Tuhan direalisasikan melalui keragaman, 2) setiap
individu selaras dengan nilai-nilai universal, dan 3) kehendak
individu direfleksikan lewat perubahan yang konkret historis. Konsep
kesadaran ini relevan dengan konsep pendidikan pembebasan yang
mendorong usaha penyadaran manusia tentang realitas dirinya. Paulo
Freire menjelaskan bahwa karena pendidikan menggarap realitas
manusia, maka secara metodologis, ia harus disandarkan pada prinsip
aksi dan refleksi yang dinamakan sebagai praksis, yaitu aksi dalam
pengertian mengubah realitas, dan di sisi lain-yang ia sebut sebagai
refleksi-terus menerus menumbuhkan kesadaran untuk merubah realitas
tersebut.
Ada dua hal yang
harus dilakukan untuk mewujudkan pendidikan Islam multikultural.
Kedua hal ini bersipat konseptual dan metodologis, yang nanti bisa
dikembangkan dan diturunkan menjadi langkah-langkah praktis.
Pertama, birokrat
pendidikan, guru, dan siswa harus mampu mengakses informasi tentang
isu-isu multikultural, baik dari media massa maupun lewat forum
diskusi, sehingga mereka tumbuh menjadi seorang figur multikultural.
Mereka harus aktif membaca buku dan mengikuti perkembangan informasi
lewat media massa. Ketika birokrat pendidikan menjadi seorang figur
multikultural, maka kebijakan pendidikan, termasuk produk hukum pun
akan mendukung multikultural. Begitupun guru dan siswa. Ketika mereka
tumbuh menjadi figur multikultural, maka proses pengaran dan
pembelajaran pun akan memuat nilai-nilai multikultural.
Kedua, kegiatan
multikultural adalah bagian dari nilai spiritual. Oleh karena itu,
siswa harus diberikan penjelasan tentang nilai-nilai spiritual dari
kegiatan yang mereka lakukan tersebut. Sehingga setiap saat mereka
akan dihadapkan pada kesadaran spiritual. Sebagai contoh guru
mengajak diskusi tentang pentingnya membersihkan lingkungan,
menghormati orang yang berbeda agama. Guru mengajak siswa menonton
film atau acara-acara televisi yang memuat wawasan dan nilai-nilai
kemanusiaan. Ia menjelaskan bahwa ketiga hal tersebut merupakan.
bagian dari nilai-nilai multikultural dan refleksi dari ibadah kepada
Tuhan.10
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sejarah yang
memprakarsai adanya pendidikan multikulturan adalah masalah HAM yang
menuntut persamaan hak.
Pengertian
pendidikan multikultural adalah usaha sadar untuk mengembangkan
kepribadian didalam dan diluar sekolah yang mempelajari tentang
berbagai macam status sosial, ras, suku, agama agar tercipta
kepribadian yang cerdas dalam menghadapi masalah-masalah keberagaman
budaya.
Tujuan-tujuan
pendidikan multikultural antara lain:
- membangun kohesifitas, soliditas dan intimitas di antara keragamannya etnik, ras, agama, budaya dan kebutuhan di
- membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian
- menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai
- bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
- untuk menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan budaya yang berbeda. Lebih jauh lagi, penganut agama dan budaya yang berbeda dapat belajar untuk melawan atau setidaknya tidak setuju dengan ketidak-toleranan (l’intorelable) seperti inkuisisi (pengadilan negara atas sah-tidaknya teologi atau ideologi), perang agama, diskriminasi, dan hegemoni budaya di tengah kultur monolitik dan uniformitas global.
Pendidikan
multikultural Islam mengapresiasi manusia sebagai makhluk yang
mempunyai potensi jasmani, akal, dan ruhani. Ketiga potensi inilah
yang mampu menumbuhkan seorang siswa menjadi manusia yang sukses di
dunia dan di akhirat. Multikultural adalah sebuah jalan tengah atau
siasat yang digunakan untuk “membaca” kenyataan adanya perbedaan
dan keragaman. Pendidikan multikultural berangkat dari kenyataan
adanya perbedaan dan keragaman tersebut. Oleh karena itu, substansi
pendidikan multikultural adalah untuk mengapresiasi perbedaan dan
keragaman tersebut.
Agar pendidikan
multikultural tidak bebas nilai, maka harus dipandu oleh wahyu. Wahyu
inilah sebenarnya yang menjadi kekuatan hakiki dari pendidikan Islam
multikultural, sehingga setiap kegiatan multikultural tidak terlepas
dari nilai-nilai ketuhanan dan menjadi bukti pengabdian kepada Allah
Yang Maha Mendidik. Ada dua hal yang bisa dilakukan untuk mewujudkan
pendidikan Islam multikultural. Pertama, mendorong manusia yang
terlibat dalam dunia pendidikan untuk menjadi figur multikultural dan
kedua mendorong kesadaran spiritual dalam setiap kegiatan
multikultural.
Jadi
pendidikan multikultural dalam islam yaitu usaha sadar untuk
mengembangkan kepribadian didalam dan diluar sekolah yang mempelajari
tentang berbagai macam status sosial, ras, suku, agama agar tercipta
kepribadian yang cerdas dalam menghadapi masalah-masalah keberagaman
budaya yang disesuaikan dengan nafas islam sebagai sarana kita dalam
mendekatkan diri pada Allah menuju makhluk yang mulia yaitu taqwa.
DAFTAR PUSTAKA
Yudi
Hartono, Dardi Hasyim, 2003. Pendidikan
Multikultural di Sekolah.Surakarta:
UPT penerbitan dan percetakan UNS.
James Banks.
1993. Multicultural
Education: Historical Development, Dimension, and Practice,USA:
Review of Research in Education.
Mashadi
,Imron, 2009. Pendidikan
Agama Islam Dalam Persepektif Multikulturalisme. Jakarta
:Balai Litbang Agama
Musa
Asy’ari,2004.Pendidikan
Multicultural dan Konflik Bangsa,Yogyakarta:
http://kompas.com/kompas-cetak/0409/03/opini/1246546)
kameliaq.blogspot.com/2012/04/makalah-pendidikan-multikultural.html
Undang-undang
RI no 20 thn 2003. Tentang
Sistem Pendidikan Nasional
dan Penjelasannya.
Jogjakarta: Media Wacana.
Azra
,Azyumardi, 2000. Pendidikan
Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Hilmy.
2003.Menggagas
Paradigma Pendidikan Berbasis Multikulturalisme Jurnal
Ulumuna.Mataram:
STAIN. Vol. VII. Edisi 12. No. 12 (Juli-Desember)
Choirul,Mahfud,2011.Pendidikan
Multikultural,Bandung:
penerbit pustaka pelajar
2
Yudi Hartono,Dardi Hasyim,
Pendidikan
Multikultural di Sekolah.(Surakarta:
UPT penerbitan dan percetakan UNS,2003), hlm.28
3
James Banks Multicultural
Education: Historical Development, Dimension, and Practice,(
USA: Review of Research in Education, 1993),hlm.4
4
Imron Mashadi, Pendidikan
Agama Islam Dalam Persepektif Multikulturalisme. (Jakarta
:Balai Litbang Agama.2009 )hlm.48
5
Musa
Asy’ari,Pendidikan
Multicultural dan Konflik Bangsa,(Yogyakarta:
http://kompas.com/kompas-cetak/0409/03/opini/1246546)
6
kameliaq.blogspot.com/2012/04/makalah-pendidikan-multikultural.html
8
Undang-undang RI no 20 thn 2003
Tentang Sistem
Pendidikan Nasional
dan
Penjelasannya.(Jogjakarta:
Media Wacana)
9
Azyumardi Azra, Pendidikan
Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru.(
Jakarta: Logos Wacana Ilmu2000).hlm.13-14
10
Hilmy.Menggagas Paradigma Pendidikan Berbasis Multikulturalisme Jurnal Ulumuna.(Mataram: STAIN. 2003). Vol. VII. Edisi 12. No. 12 (Juli-Desember)
Hilmy.Menggagas Paradigma Pendidikan Berbasis Multikulturalisme Jurnal Ulumuna.(Mataram: STAIN. 2003). Vol. VII. Edisi 12. No. 12 (Juli-Desember)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar